Senin, 20 September 2010

PROSEDUR EVALUASI HASIL BELAJAR


A.     Perencanaan Evaluasi Hasil Belajar
Tahap awal evaluasi terjadi sebelum kegiatan actual dan mencakup pembuatan keputusan tentang kegiatan yang akan diambil. Tahap perencanaan itu mencakup proses penetapan tujuan ujian, penyusunan kisi-kisi tes, penetapan strategi ujian dan persiapan jadual.
1.      Penetapan Tujuan Ujian
Gronlund (1981) menyatakan bahwa tujuan ujian adalah memperoleh informasi  yang valid, reliable dan bermanfaat. Untuk memperoleh informasi tersebutdiperlukan adanya penetapan “apa” yang diukur dan kemudian menetapkan ukuran yang tepat sehingga item tes dapat dikonstruksikan untuk mengungkap kinerja siswa yang diinginkan. Disamping itu juga melibatkan spesifikasi ranah hasil belajar yang ditunjukan melalui sampel tes yang mewakili keseluruhan ranah tugas-tugas belajar dan yang hasilnya layak untuk digunakan di dalam pembelajaran berikutnya.
        Tes dapat digunakan untuk memenuhi berbagai tujuan pembelajaran. Berbagai penggunaan tes dan instrument evaluasi lain juga dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis ujian hasil belajar, yaitu:
a.      Ujian Penempatan
b.      Ujian Formatif
c.       Ujian Diagnostik
d.      Ujian Sumatif
2.      Penyusunan tabel Kisi-Kisi Tes
Data yang dikumpulkan melalui ujian umumnya diharapkan memenuhi harapan, yaitu valid, reliable dan bermanfaat. Untuk itu guru diharapkan mampu merumuskan item tes yang valid, reliable dan praktis. Itulah sebabnya seorang guru hendaknya mengikuti prosedur sistematik didalam menarik sampel kinerja siswa secara representative pada masing-masing bagian pembelajaran yang hendak diukur.
Salah satu alat yang telah digunakan secara luas untuk menarik sampel bagian pembelajaran adalah penggunaan tabel kisi-kisi. Tabel kisi-kisi ini menghubungkan tujuan pembelajaran dengan materi pembelajaran dan spesifikasi relative yang menekankan masing-masing tipe hasil belajar.
Pembuatan tabel kisi-kisi meliputi kegiatan :
a.      Perumusan Tujuan Pembelajaran
b.      Pembuatan Garis besar materi Pembelajaran
c.       Penyiapan Tabel Kisi-Kisi
d.      Pemilihan dan Pengembangan Butir Soal Tes
e.      Pemilihan Strategi Ujian
f.        Penetapan Jadual ujian

B.      Proses Evaluasi Hasil Belajar
Prinsip penyelenggaraan ujian yang paling pokok adalah bahwa semua siswa harus dibeerikan peluang yang sama untuk mendemonstrasikan hasil belajar yang hendak diukur. Ini berarti baik lingkungan fisik maupun psikologis dan sosial harus diciptakan secara kondusif agar siswa mampu mengerjakan secara maksimal dan guru mengendalikan faktor-faktor yang mengganggu jalannya ujian.
Kondisi fisik yang baik ditunjukan adanya ruang ujian yang mencukupi, tenang, terang, fentilasi dan temperature udara mencukupi. Lingkungan psikologis yang kondusif yaitu tidak adanya rasa cemas dan ketakutan pada diri siswa selama mengerjakan item tes. Beberapa sumber kecemasan yang sering dijumpai pada diri siswa adalah:
1.      Rasa kegagalan sebelum mengerjakan item tes.
2.      Peringatan dari guru agar siswa berperilaku baik.
3.      Guru menyatakan bahwa siswa harus bekerja cepat untuk menyelesaikan pekerjaan. Lingkungan sosial yang kondusif yaitu siswa boleh mengajukan pertanyaan kepada guru apabila menjumpai item tes yang tidak jelas.
Ada beberapa saran yang dapat digunakan didalam penyelenggaraan ujian agar siswa berhasil dalam ujian.
1.      Memotivasi siswa untuk bekerja sendiri secara maksimal.
2.      Sampaikan peraturan ujian secara jelas.
3.      Menjaga penggunaan waktu ujian secara tepat.
4.      Catat peristiwa-peristiwa penting yang terjadi selama berlangsungnya ujian.
5.      Kumpulkan hasil pekerjaan siswa secara tepat.

C.      Produk Evaluasi
Fase produk dalam evaluasi hasil belajar adalah berupa kegiatan analisis dan penafsiran hasil ujian. Analisi dan penafsiran data itu hampir selalu diikuti oleh persiapan laporan tentang tujuan, prosedur, dan hasil evaluasi. Hasil produk evaluasi itu setidak-tidaknya digunakan untuk tiga kepentingan, yaitu:
1.       Memberikan balikan-balikan dan petunjuk kepada pihak-pihak yang terlibat pada pendidikan.
2.       Memberi balikan kepada pembuat keputusan.
Tergantung pada jenis evaluasi yang diterapkan

KEKERASAN DAN KESENJANGAN DI PERKOTAAN


Dalam persepektif sosiologi, kekerasan merupakan perilaku sosial yang menjadi produk dan stimulant perilaku-perilaku seseorang terhadap orang lain. Dalam konteks ini, individu yang melakukan kekerasan dianggap bukan untuk memenuhi kepuasan kolektif. Kekerasan merupakan bentuk bentuk respon yang berstruktur dan lahir dari endapan berbagai pengalaman yang  tidak memuaskan.
Secara sosiologis, kekerasan merupakan salah satu indikasi bahwa masyarakat sedang ‘sakit’ dimana faktor non-adaptive lebih berkembang daripada faktor adaptive. Dalam kondisi demikian, masyarakat dilanda krisis nilai dan norma sosial.
Garis ekspektasi telah berkembang sedemikian rupa sehingga meninggalkan garis yang dicapai. Garis ekspektasi memang hampir tidak pernah bersinggungan dengan garis yang dicapai, tatapi ketika jarak antara kedua garis tersebut masih berada dalam ambang batas toleransi, biasanya tidak menimbulkan masalah. Masalah (terutama kekerasan) akan muncul ke permukaan apabila jarak antara kedua sisi tersebut sudah melewati ambang batas toleransi. Persoalannya, karena masyarakat membangun mekanisme sendiri untuk mengembangkan toleransi, maka tidak mudah diprediksi kapan kekerasan akan terjadi, dan tingkat toleransi suatu masyarakat juga berbeda dengan masyarakat lainnya.
Kendati perilaku kekerasan sering terjadi dalam kehidupan perkotaan, itu tidak berarti bahwa fenomena tersebut menjadi bagian integral dari system sosial dan struktur soaial masyarakat kota.
Kehidupan masyarakat kota di banyak Negara berkembang, termasuk Indonesia, lazim ditandai oleh pesatnya perubahan struktur lapangan kerja dari pekerjaan yang kurang membutuhkan keahlian (unskilled occupation) kea rah pekerjaan yang membutuhkan keahlian (skilled occupation). Dalam istilah lain adalah sebagai perubahan kerja dari pekerjaan manual ke pekerjaan clerical. Untuk dapat mengikuti perkembangan tersebut, di perlukan keahlian yang terutama dicapai melalui pendidikan.
Dalam kenyataannya, kemampuan anggota masyarakat dalam menjawab perubahan tersebut amat beragam. Lapisan menengah ke atas atau sebagai ekonomi kuat lebih mudah menjawab perubahan itu. Rata-rata tingkat pendidikan mereka relative tinggi dan mereka mempunyai keterampilan yang lebih. Kondisi demikian sangat berbeda dengan lapisan bawah. Tingkat pendidikan mereka pada umumnya rendah. Oleh karenanya, mereka selalu kalah bersaing ketika ada kompetisi mengisi kesempatan kerja. Inilah dimensi pertama dari bentuk kesenjangan sosial yang terjadi pada masyarakat perkotaan.
Kesempatan kerja atau pengembangan usaha pada lapisan menengah ke atas tidak juga selalu berjalan dengan mulus. Di kalangan mereka, juga terjadi kompetisi yang cukup sengit, bahkan kompetisi tersebut bias berkembang dengan tidak sehat ketika kelompok-kelompok tertentu mencari jalan pintas dengan cara melakukan kolusi dengan penguasa. Seperti contoh adanya suap-menyuap, KKN dan Monopoli. Inilah dimensi kedua dari bentuk kesenjangan sosial yang terjadi dikalangan masyarakat perkotaan. Kekerasan dapat dilakukan di antara sesame kelompok pada lapisan yang sama, tetapi juga dapat dikalukan kepada mereka yang berada di lapisan di bawahnya, terutama apabila mereka merasa tidak mempunyai nyali untuk memberikan perlawanan terhadap rivalnya.
Sementara itu, dikalangan masyarakat bawah sendiri telah berkembang bermacam-macam cara untuk mempertahankan hidup. Yaitu dengan mengembangkan  strategi survival, diantaranya adalah : hubungan ‘induk-semang’ dengan lapisan atas (adanya mekanisme ‘take and give’ dimana masing-masing pihak memperoleh keuntungan), hubungan ‘a close-knit network’ (adanya hubungan dengan sanak-kerabat, handai-taulan, atau tetangga dekat). Sedangkan diluar kedua model tersebut, masih ada kelompok lain yang seakan-akan terlempar dari percaturan ekonomi, yaitu kelompok yang menjadi pengemis dan terjun ke dunia hitam (criminal). Inilah bentuk kesenjangan sosial ke tiga yang berkembang dalam kehidupan masyarakat perkotaan.
Masalahnya, bagaimana cara mengatasinya? Seberapa jauh agama dapat berperan menemukan kembali makna spiritualitas orang kota? Sebelum menjawab masalah tersebut, perlu adanya identifikasi terlebih dahulu siapakah ‘orang kota itu’. Selanjutnya, perlu diidentifikasi bagaiman mereka menempatkan agama dalam kehidupan sosialnya: apakah agama ditempatkan sebagai refrensi dalam bersikap dan berperilaku atau sebaliknya, apakah agama ditempatkan sebagai alat untuk melegitimasi sikap dan perilakunya. Dari hasil identifikasi semacam itu, selanjutnya dapat dibangun strategi sosialisasi ajaran agama yang efektif, efisien atau sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya.