Senin, 20 September 2010

KEKERASAN DAN KESENJANGAN DI PERKOTAAN


Dalam persepektif sosiologi, kekerasan merupakan perilaku sosial yang menjadi produk dan stimulant perilaku-perilaku seseorang terhadap orang lain. Dalam konteks ini, individu yang melakukan kekerasan dianggap bukan untuk memenuhi kepuasan kolektif. Kekerasan merupakan bentuk bentuk respon yang berstruktur dan lahir dari endapan berbagai pengalaman yang  tidak memuaskan.
Secara sosiologis, kekerasan merupakan salah satu indikasi bahwa masyarakat sedang ‘sakit’ dimana faktor non-adaptive lebih berkembang daripada faktor adaptive. Dalam kondisi demikian, masyarakat dilanda krisis nilai dan norma sosial.
Garis ekspektasi telah berkembang sedemikian rupa sehingga meninggalkan garis yang dicapai. Garis ekspektasi memang hampir tidak pernah bersinggungan dengan garis yang dicapai, tatapi ketika jarak antara kedua garis tersebut masih berada dalam ambang batas toleransi, biasanya tidak menimbulkan masalah. Masalah (terutama kekerasan) akan muncul ke permukaan apabila jarak antara kedua sisi tersebut sudah melewati ambang batas toleransi. Persoalannya, karena masyarakat membangun mekanisme sendiri untuk mengembangkan toleransi, maka tidak mudah diprediksi kapan kekerasan akan terjadi, dan tingkat toleransi suatu masyarakat juga berbeda dengan masyarakat lainnya.
Kendati perilaku kekerasan sering terjadi dalam kehidupan perkotaan, itu tidak berarti bahwa fenomena tersebut menjadi bagian integral dari system sosial dan struktur soaial masyarakat kota.
Kehidupan masyarakat kota di banyak Negara berkembang, termasuk Indonesia, lazim ditandai oleh pesatnya perubahan struktur lapangan kerja dari pekerjaan yang kurang membutuhkan keahlian (unskilled occupation) kea rah pekerjaan yang membutuhkan keahlian (skilled occupation). Dalam istilah lain adalah sebagai perubahan kerja dari pekerjaan manual ke pekerjaan clerical. Untuk dapat mengikuti perkembangan tersebut, di perlukan keahlian yang terutama dicapai melalui pendidikan.
Dalam kenyataannya, kemampuan anggota masyarakat dalam menjawab perubahan tersebut amat beragam. Lapisan menengah ke atas atau sebagai ekonomi kuat lebih mudah menjawab perubahan itu. Rata-rata tingkat pendidikan mereka relative tinggi dan mereka mempunyai keterampilan yang lebih. Kondisi demikian sangat berbeda dengan lapisan bawah. Tingkat pendidikan mereka pada umumnya rendah. Oleh karenanya, mereka selalu kalah bersaing ketika ada kompetisi mengisi kesempatan kerja. Inilah dimensi pertama dari bentuk kesenjangan sosial yang terjadi pada masyarakat perkotaan.
Kesempatan kerja atau pengembangan usaha pada lapisan menengah ke atas tidak juga selalu berjalan dengan mulus. Di kalangan mereka, juga terjadi kompetisi yang cukup sengit, bahkan kompetisi tersebut bias berkembang dengan tidak sehat ketika kelompok-kelompok tertentu mencari jalan pintas dengan cara melakukan kolusi dengan penguasa. Seperti contoh adanya suap-menyuap, KKN dan Monopoli. Inilah dimensi kedua dari bentuk kesenjangan sosial yang terjadi dikalangan masyarakat perkotaan. Kekerasan dapat dilakukan di antara sesame kelompok pada lapisan yang sama, tetapi juga dapat dikalukan kepada mereka yang berada di lapisan di bawahnya, terutama apabila mereka merasa tidak mempunyai nyali untuk memberikan perlawanan terhadap rivalnya.
Sementara itu, dikalangan masyarakat bawah sendiri telah berkembang bermacam-macam cara untuk mempertahankan hidup. Yaitu dengan mengembangkan  strategi survival, diantaranya adalah : hubungan ‘induk-semang’ dengan lapisan atas (adanya mekanisme ‘take and give’ dimana masing-masing pihak memperoleh keuntungan), hubungan ‘a close-knit network’ (adanya hubungan dengan sanak-kerabat, handai-taulan, atau tetangga dekat). Sedangkan diluar kedua model tersebut, masih ada kelompok lain yang seakan-akan terlempar dari percaturan ekonomi, yaitu kelompok yang menjadi pengemis dan terjun ke dunia hitam (criminal). Inilah bentuk kesenjangan sosial ke tiga yang berkembang dalam kehidupan masyarakat perkotaan.
Masalahnya, bagaimana cara mengatasinya? Seberapa jauh agama dapat berperan menemukan kembali makna spiritualitas orang kota? Sebelum menjawab masalah tersebut, perlu adanya identifikasi terlebih dahulu siapakah ‘orang kota itu’. Selanjutnya, perlu diidentifikasi bagaiman mereka menempatkan agama dalam kehidupan sosialnya: apakah agama ditempatkan sebagai refrensi dalam bersikap dan berperilaku atau sebaliknya, apakah agama ditempatkan sebagai alat untuk melegitimasi sikap dan perilakunya. Dari hasil identifikasi semacam itu, selanjutnya dapat dibangun strategi sosialisasi ajaran agama yang efektif, efisien atau sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar